metodologis penyusunan pohon filomemetika dilakukan dengan menyusun memepleks dari artefak budaya desain arsitektural bangunan yang terinspirasi tradisi lokal, kemudian mengubah matriks homologi tersebut ke dalam bentuk matriks jarak, lalu memvisualisasikannya menjadi pohon filomemetika disain arsitektural.Memepleks desain arsitektur ini kita peroleh dengan mejawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah ia dapat dikategorikan sebagai rumah panggung, bahan bangunannya, bentuk bangunan tersebut, dekorasi bangunan tersebut dan bagaimana bangunan tersebut diwarnai, eksploitasi spasial di sekitar bangunan tersebut, termasuk sejauh mana pengaruh luar memberikan dampak bagi desainnya secara umum. Dari sini, kita akan memperoleh data struktur memepleks anjungan-anjungan daerah di TMII. Proses selanjutnya adalah membangun matriks jarak artefak. Proses ini diperlukan untuk membangun argumentasi tentang kedekatan antara satu artefak dengan yang lain berdasarkan informasi memepleks yang diperoleh pada proses sebelumnya. Untuk kasus artefak arsitektural, pembandingan memepleks antar artefak mengacu pada Jarak Hamming, dan Jarak Korelasi antar artefak. Selanjutnya, data jarak artefak diteruskan ke proses pengklusteran yang dalam kasus ini menggunakan algoritma yang dikenal dengan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmatic Mean). Pada tahap ini, kita telah memperoleh grup-grup artefak, untuk kemudian dikembangkan pengkladistikan meme-nya atau yang kita sebut di atas sebagai pohon filomemetika
Kepulauan Indonesia dianugerahi kekayaan motif yang luar biasa, seperti Ulos dari Sumatera Utara, Songket dari Palembang, Jawa dengan Batiknya dan lain sebagainya. Di sini, kita dapat menggunakan konsep pohon filomemetik untuk dapat melihat taksonomi hierarkis motif-motif yang ada di nusantara. Ada dua parameter yang kita gunakan untuk menyusun memepleks motif. Yang pertama, adalah besaran yang mengukur sensitifitas bentuk geometri motif. Di sini, kita menggunakan dimensi fraktal. Parameter yang kedua berkaita dengan warna motif tersebut. Konfigurasi warna yang ada dapat kita susun dalam kombinasi histogram tiga buah warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Dari sini kemudian kita akan mendapatkan matriks jarak, yang kemudian tervisualisasikan menjadi pohon filomemetik motif.
Budaya sangat penting penting dalam membentuk peradapan/kemajuan sebuah bangsa. Karena hanya dengan mengenal diri sendiri atau wawasan nusantara ("darimana kita berasal", "latar belakang apa yang membuat kita seperti ini", "apa karakter yang melekat secara kolektif pada diri kita", dan lain-lain) maka dengan bijaksana kita akan mengetahui respon apa yang perlu kita berikan ke depan. Kesadaran ini harus dimiliki sejak dini. Selama ini, budaya seringkali hanya dilihat dari 2 dimensi saja. Pertama, dimensi pelestarian/tradisi. Kita mengenakan batik setiap hari kartini, karena itu sudah tradisi. Seringkali budaya menjadi sebatas tradisi semata. Ia menjadi barang antik. Akibatnya, budaya kita menjadi tidak adaptif menghadapi tantangan masyarakat. Kedua, dimensi komersialisasi. Pariwisata memang mendatangkan devisa. Namun, jika kita terjebak di sini, ia justru berkembang menjadi objek komersial semata.
Manusia Indonesia modern tumbuh di tengah tantangan era globalisasi, teknologi dan informasi. Fenomena anak-anak perkotaan Indonesia, yang menunjukkan jarak antara budaya Indonesia dengan anak, adalah ekses globalisasi, teknologi dan informasi. Akibatnya, ia mengikis identitas Indonesia dari anak-anak. Namun, ini tidak murni akibat faktor globalisasi dan informasi. Paradigma kita yang melihat budaya sebatas dari dimensi pelestarian dan dimensi komersialisasi semata juga ikut berperan.
Untuk itu, kita harus menjawab tantang itu semua dengan sebuah wawasan nusantara baru yang bersifat rasional (bukan doktrinasi) dan konkret (kesatuan Indonesia bukanlah sebuah hal yang abstrak). Di sini, pohon filomemetik menjanjikan sebuah jawaban. Dari visualisasi yang ada di pohon tersebut, kita dapat menunjukkan bahwa keragaman yang ada hanyalah sebuah cabang dari sebuah pohon besar, yaitu pohon budaya Indonesia. Pohon ini secara nyata menunjukkan sebuah kalimat sakti yang dibawah oleh sebuah burung perkasa: Bhineka Tunggal Ika.
sumber : http://www.budaya-indonesia.org
Kepulauan Indonesia dianugerahi kekayaan motif yang luar biasa, seperti Ulos dari Sumatera Utara, Songket dari Palembang, Jawa dengan Batiknya dan lain sebagainya. Di sini, kita dapat menggunakan konsep pohon filomemetik untuk dapat melihat taksonomi hierarkis motif-motif yang ada di nusantara. Ada dua parameter yang kita gunakan untuk menyusun memepleks motif. Yang pertama, adalah besaran yang mengukur sensitifitas bentuk geometri motif. Di sini, kita menggunakan dimensi fraktal. Parameter yang kedua berkaita dengan warna motif tersebut. Konfigurasi warna yang ada dapat kita susun dalam kombinasi histogram tiga buah warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Dari sini kemudian kita akan mendapatkan matriks jarak, yang kemudian tervisualisasikan menjadi pohon filomemetik motif.
Budaya sangat penting penting dalam membentuk peradapan/kemajuan sebuah bangsa. Karena hanya dengan mengenal diri sendiri atau wawasan nusantara ("darimana kita berasal", "latar belakang apa yang membuat kita seperti ini", "apa karakter yang melekat secara kolektif pada diri kita", dan lain-lain) maka dengan bijaksana kita akan mengetahui respon apa yang perlu kita berikan ke depan. Kesadaran ini harus dimiliki sejak dini. Selama ini, budaya seringkali hanya dilihat dari 2 dimensi saja. Pertama, dimensi pelestarian/tradisi. Kita mengenakan batik setiap hari kartini, karena itu sudah tradisi. Seringkali budaya menjadi sebatas tradisi semata. Ia menjadi barang antik. Akibatnya, budaya kita menjadi tidak adaptif menghadapi tantangan masyarakat. Kedua, dimensi komersialisasi. Pariwisata memang mendatangkan devisa. Namun, jika kita terjebak di sini, ia justru berkembang menjadi objek komersial semata.
Manusia Indonesia modern tumbuh di tengah tantangan era globalisasi, teknologi dan informasi. Fenomena anak-anak perkotaan Indonesia, yang menunjukkan jarak antara budaya Indonesia dengan anak, adalah ekses globalisasi, teknologi dan informasi. Akibatnya, ia mengikis identitas Indonesia dari anak-anak. Namun, ini tidak murni akibat faktor globalisasi dan informasi. Paradigma kita yang melihat budaya sebatas dari dimensi pelestarian dan dimensi komersialisasi semata juga ikut berperan.
Untuk itu, kita harus menjawab tantang itu semua dengan sebuah wawasan nusantara baru yang bersifat rasional (bukan doktrinasi) dan konkret (kesatuan Indonesia bukanlah sebuah hal yang abstrak). Di sini, pohon filomemetik menjanjikan sebuah jawaban. Dari visualisasi yang ada di pohon tersebut, kita dapat menunjukkan bahwa keragaman yang ada hanyalah sebuah cabang dari sebuah pohon besar, yaitu pohon budaya Indonesia. Pohon ini secara nyata menunjukkan sebuah kalimat sakti yang dibawah oleh sebuah burung perkasa: Bhineka Tunggal Ika.
sumber : http://www.budaya-indonesia.org
0 komentar:
Posting Komentar