Kamis, 30 Juni 2011

Teori Arsitektur Akibat Revolusi Industri

Telah banyak disebutkan pada bagian lain, bahwa orang-orang Barat memandang berbagai hal termasuk arsitektur, sebagai ilmu yang dikaji dan dipelajari sehingga mendapatkan berbagai teori. Dengan berubahnya secara sangat cepat dan mendasar budaya masyarakat Barat yang diakibatkan oelh revolusi industri maka terjadi pula perubahan besar dalam pandangan dan teori arsitektur. Pada arsitektur masa pasca Renaissance  terjadi percampuran antara gaya-gaya klasik yang sudah ada seperti Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Romanesque, dan Gothic. Hal ini menandai adanya perubahan mendasar dalam arsitektur. Pencampuran terjadi selain karena perubahan kebudayaan, pola pikir juga karena telah lebih banyak pilihan bentuk. Masa itu disebut masa Neo-Klasik. Perkembangan selanjutnya seni klasik dan karya kerajinan tangan semakin ditinggalkan oleh bentuk-bentuk produksi mesin yang cepat praktis dan tidak kalah keindahannya. Salah satunya yang memanfaatkannya adalah Augustus Welby Nortmore Pugin (1812-1852). Hal ini terungkap dari tulisannya sebagai berikut : “Dalam beberapa hal, saya siap untuk menerima bahwa penemuan baru telah
membawa kesempurnaan, tetapi harus diingat hal itu dibuat oleh mesin. Saya tidak ragu-ragu mengatakan jika karya seperti itu meningkat maka karya-karya seni dan kerajinan murni akan turun dalam proporsi lebih besar” (Michel Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997).
Lebih jauh dia memuji jaman pertengahan dengan mengatakan bahwa arsitektur klasik Gothic, identik dengan Katolikisme dan bahwa pada jaman Medieval itu gereja-gereja yang menghiasi kota-kota katholik digantikan oleh pabrik,


penjara atau berubah menjadi fungsi lainnya. Keindahan arsitektur adalah adaptasi dari bentuk kepada fungsi, hal ini menimbulkan inspirasi yang menggerakan para arsitek ke seniman. John Ruskin (1819-1900) berlawan dengan Pugin, tidak setuju pada keindahan klasik. Ia mendukung pendapat bahwa Gothic tidak hanya sebagai
arsitektur gereja, tetapi secara sempurna merupakan suatu arsitektur modern. Dia tidak setuju terhadap eklektisme yang sedang mendominasi dunia arsitektur pada masa itu karena eklektisme cenderung memilih unsur (elemen) terbaik dan menggabungkannya sehingga menjadi “bentuk yang sangat heterogen”. Pertentangan pendapat antara Pugin dan Ruskin terungkap pula pada ketidaksenangan Ruskin pada masyarakat Borjuis dan masyarakat yang „masinal‟. Hal ini terungkap dari tulisannya : “…semua pekerjaan hasil cetakan mesin adalah buruk dan lagipun tidak jujur …”. Dapat dibayangkan mesin sangat mengerikan dan anti kebudayaan. Padahal pada zaman itu, mesin dapat melahirkan suatu keindahan baru misalnya Crystal
Palace atau Istana Kristal di London Inggris. Namun Ruskin membenci bangunan luar biasa ini dan menyebutnya sebagai “suatu ruang kaca untuk ketimun” dan bahwa stasiun kereta api bukanlah suatu karya arsitektural tetapi hasil pekerjaan bersifat industrial. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Meskipun terdapat perbedaan persepsi dalam arsitektur klasik, tetapi dalam hal fungsionalisme tidak terdapat perbedaan pendapat, bahwa idealisme dari suatu arsitektur adalan perpaduan antara bentuk dan fungsi. “Setiap bangunan harus menemukan bentuk sesuai dengan fungsinya, sebuah rumah hendaknya berbeda
dengan kantor atau gereja, dan tanpa menggunakan pandangan ini maka hubungan antara bagian dalam bangunan dengan bagian luarnya akan diabaikan. Tidak seharusnya mengorbankan kamar menjadi gelap tanpa jendela, untuk mendapatkan susunan jendela tampak  simetris dari luar atau menambah bagian-bagian tak berguna” (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Dalam idiologi fungsionalisme bahwa arsitektur adalah seni, dimana prinsip-prinsip seni menyatu didalamnya. Bahwa dalam prinsip fungsionalisme nilai konstruksi mempunyai nilai yang sama dengan fungsi. Dianalogikan dengan perahu dimana hampir seluruh bagian dan bentuknya mengacu kepada fungsinya. Walaupun menurut Ruskin bahwa sebagai kapal bukan produk seni tetapi produk konstruksi dan dirancang juga untuk tahan terhadap kabut, angin dan badai, dan hasilnya merupakan suatu bentuk yang indah. Keanggunan arsitektur tidak selalu dibentuk oleh patung-patung maupun dekorasi tetapi oleh seni dan proporsi dalam penataan unit-unit dan bagian-bagiannya. Senada dengan itu  Eugen Emmanuel Viollet-le-Duc (1814  –1879) mengungkapkan : “Bahwa arsitektur hendaknya dapat mengekspresikan „kekuatan‟ seperti halnya mesin uap, listrik dan dapat memanfaatkan material baru misalnya
baja. Dan apabila suatu bentuk tidak dapat menjelaskan alasan mengapa demikian, maka dia tidak akan memancarkan keindahan”. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo,1997).

Pendapat itu betul-betul kontroversial, bertentangan dengan kaidah-kaidah keindahan pada masa itu. Sehingga membawa Viollet-le-Duc kembali kepada kesimpulan dan definisi fungsionalisme yang dikemukakan Pugin, Ruskin dan Wlliam Morris, seperti diungkap; “Bila bentuk secara murni memberikan indikasi dan
membuat mengerti untuk apa produk ini dibuat, maka bentuk itu baik. Contoh dalam kehidupan misalnya, bagi yang mengerti fungsinya maka seseorang dapat mengerti bahwa segala ciptaan alam memancarkan keindahan …. Apabila kita memperhatikan dan memahami suatu bentuk mekanisme atau sistem seperti misalnya sayap burung berfungsi sama dengan sirip ikan, jelas masing-masing untuk terbang dan berenang, maka kita akan mengagumi dan melihat pancaran keindahan … setelah itu kita akan mengatakan bahwa burung mempunyai sayap untuk terbang dan ia terbang karena bersayap. Burung terbang dengan sayapnya adalah suatu hasil  mekanisme sebuah “mesin” yang sempurna sehingga membuatnya dapat terbang”.Ungkapan tersebut diatas menjelaskan kepada kita bagaimana teori keindahan mendasari konsep fungsionalisme.

sumber referensi :
Ching, Francis  DK, 1987,  Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.
Tjahyono, Gunawan, 1999, “Teori Arsitektur di Dunia Barat”, makalah Penataran

Ciri-ciri Umum Arsitektur Renaissance

Pada umumnya arsitektur bangunan masa Renaissance memiliki fungsi keagamaan seperti gereja dan kapel (peninggalan dan melanjutkan bangunan masa Medieval), bangunan-bangunan istana, pusat pemerintahan dan rumah-rumah kediaman pendeta atau saudagar (yang merupakan anggota masyarakat yang terhormat). Teori-teori yang menonjol pada bangunan tersebut adalah : Penerapan konsep simetri yang kuat, pada tampak dan ruang dalam bangunan. Mayoritas pemakaian bahan bangunan/material dari marmer pada interior dan
warna bangunan yang cenderung monochrome atau satu warna. Bangunan kaya akan elemen dekoratif, baik pada interior maupun eksterior bangunan. Elemen dekoratif tersebut umumnya berupa ukiran/sculpture, relief serta lukisan-lukisan. Tema elemen dekoratif tersebut umumya melambangkan karakter-karakter atau penginterpretasian alam dan sosok manusia, flora, fauna serta pemandangan alam. Pada ruang dalam, bagian dinding dan langit-langit umumnya dilapisi ukiran (stucco) yang obyeknya seputar flora, sosok dan perilaku dari fauna dan manusia, topeng-topeng, perahu maupun perisai. Penggunaan patung yang dipadukan dengan detail arsitektural, baik pada interior maupun eksterior. ada façade bangunan terdapat deretan kolom-kolom dengan kepala dihiasi elemen dekoratif bermotif flora, susunan order dapat berupa Doric, Ionic, maupun Corinthian. 

Penerapan garis-garis hirisontal dan elemen-elemen busur pada bidang datar. Atap, baik atap perisai maupun datar dilengkap dengan hiasan, baik berupa Lantern, Louvre, Lucarne, Ammortizement, Tympanum maupun Balustrade.

Contoh-Contoh Arsitek dan Bangunan di Awal Renaissance Brunelleschi.
  Menciptakan perletakan dome untuk memperkuat kesan horizontal, membuat dinding rangkap untuk memberi kesan berat pada bangunan, memakai konstruksi Gothic dengan merenggangkan kulit luar dome dengan 24 kerangka dan mengarahkan profil bangunan dengan menggunakan konstruksi dome. (bangunan: S. Spirito dan Cathedral of Florence). Alberti.   Menyatukan dua konsep matematik dan lukisan sebagai elemen dekoratif. Bangunan berciri megah dan memiliki konsep simetris. (bangunan : S. Andrea, Mantua). Perencanaan Kota dan Istana di Pienza, Urbino dan Florence, Konsepnya mengimbangi blok-blok masa berdinding masif dengan unsur-unsur horisontal, dan deretan kolom dengan irama tertentu yang diberi sentuhan akhir pada kaki dan kepala kolom tersebut. atap  konstruksi kayu dibuat datar dengan dibatasi cornice. (bangunan : Gaudagni Palace, Florence dan Grimanti Palace, Venice).

Contoh-Contoh arsitek dan bangunannya yang dianggap ‘High’ Renaissance
Bramante   ciri utama menimbulkan kesan baru pada bentuk bangunan yang cenderung menjadi dinamis (misalnya: bentuk lengkung) dan monumental. (bangunan : St. Peter, Rome 1506). Michelangelo bangunan berpijak pada konsep antik roman, dengan memperhatikan elemen dekoratif berupa lukisan pada plafond dan sculpture dengan motif-motif klasik. (bangunan : Modern Capital di Roma). 

sumber referensi :

Ching, Francis  DK, 1987,  Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.







Teori Arsitektur Renaissance

Pengertian
Definisi Renaissance menurut Merriam – Webster dictionary adalah :
“The revival of classical influences in the art and literature and the beginning of modern science in Europe in 14th   -  17th   centuries, also movement or period of vigorous artistic and intelctual activity”. 
Masa Renaissance (masa pencerahan) muncul setelah melalui masa abad pertengahan atau masa Medieval (Middle Age), yang biasa disebut dengan masa kegelapan. Disebut demikian karena pada saat itu kurang atau tidak adanya pemikiran-pemikiran baru, khususnya dalam dunia arsitektur yang menjadikan karya-karya arsitektur berhenti atau hanya mengolah elemen-elemen detail yang sifatnya dekoratif (seperti Arsitektur Rococo). Faktor yang sangat mempengaruhi lahirnya masa Renaissance (pencerahan) adalah adanya konsep-konsep dan pemikiran baru dalam cara pandang manusia dalam kehidupannya yaitu dengan cara penghargaan terhadap akal manusia (personal), dengan tidak lagi hanya menggantungkan pada kepemimpinan gereja.


Konsep Dasar Pemikiran Renaissance
Masa Renaissance merukan kelahiran kembali arsitektur Klasik, yang didasari oleh Arsitektur Klasik Yunani dengan pengaruh Arsitektur Klasik Romawi. Sejarah singkatnya orang Yunani telah secara mendalam membahas cara hidup enak di dunia. Untuk mendapatkan hidup enak, perlu ada aturan. Aturan dibuat untuk
mengatur manusia dan alam. Manusia & Alam    yang membuat aturan “KITA” yang menghasilkan paham
“HUMANISME”.

“HUMANISME”    Paham yang mengatakan bahwa manusia mampu mengatur
dirinya dan alam. (Humanisme yang berisi paham „LIBERALISME‟). “LIBERALISME”    Paham yang mengatakan bahwa manusia harus bebas. Bebas mengatur dirinya dan alam, sehingga manusia harus membuat aturan, dan aturan dibuat dengan akal. Ini merupakan inti dari paham “RATIONALISME” “RATIONALISME”    Paham yang mengatakan bahwa kebenaran dicari dan diukur dengan akal. Dengan demikian pada akhirnya akan memunculkan paham “EMPIRISME”. Secara intinya “HUMANISME” merupakan paham yang bertujuan mengangkat derajat dan kemuliaan manusia. Paham ini mendasari apresiasi terhadap seniman dan karya-karyanya. Dunia Klasik yang berminat terhadap HUMANITAS dan cinta akan keindahan, menggunakan  figur manusia sebagai obyek, karena manusia merupakan karya seni yang terindah. Paham “RASIONALISME” mendasari keingintahuan (coriosity) dan penyelidikan tentang hakekat alam, memunculkan ilmu-ilmu baru (Matematik, Perspektif dan Antomi). Aplikasi dari ilmu-ilmu tersebut menjadi dasar teori yang diterapkan pada karya-karya masa Renaissance.

Kelahiran Renaissance
Pengaruh Renaissance berkembang sejak awal abad ke-14 di Florence, Italia yang kemudian meluas ke Perancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Portugal dan juga ke negara jajahan Eropa di Amerika, Asia dan Afrika.
Renaissance berawal dari karya kesusastraan, berpedoman pada karya Petrach, Boccacio dan Dante. Kemudian diikuti oleh seni pahat dan seni lukis (dengan beberapa senimannya yaitu Nicola Pisano, Gimabue dan Giotto). Kemudian yang terakhir adalah perkembangan seni arsitekturnya. Filipo Brunelleschi (1377-1466) adalah arsitek Renaissance pertama, berawal dari pengrajin emas, pemahat dan juga mendalami Matematika. Serta membuat gambar kerja dari bangunan Romawi Kuno di Roma. “Ospedale Degli Innocenti” 1419 (The Founding Hospital) karya pertamanya bergaya “Tuscan dan Romanesque”. Desain
selanjutnya menunjukan pendekatan ke gaya New Classical, seperti kecenderungan “kesimetrisan”, “proporsional” dan penerapan “Arcade dengan kolom-kolom pendukung setengah lingkaran (elemen busur)” merupakan ciri gaya arsitektur bangunan masa Renaissance. Sedangkan Alberti dengan Pallazio Rucellai-nya
(1446) yang memiliki façade dengan order bentuk-bentuk pilar dan garis-garis horisontal pada bidang datar yang luas pola ini menjadi populer di masa mendatang, merupakan dua tokoh yang utama.

Teori-teori Arsitektur Renaissance
Perkembangan teori arsitektur yang dipakai para arsitek pada masa Renaissance percaya bahwa bangunan mereka harus menjadi satu bagian dari suatu tata aturan yang lebih tinggi. Mereka kembali pada sistem proporsi matematis Yunani sehingga timbul pengertian arsitektur adalah matematika yang diterjemahkan dalam satuan-satuan ruang. Pengembangan teori-teori Renaissance banyak mengacu pada falsafah yang dibuat oleh Plato, Pythagoras dan Aristoteles. Teori Plato melihat bahwa keindahan alami muncul melalui adanya garis, lingkaran, dan permukaan yang menghasilkan bentuk dan volume geometris yang absolut. Teori Pythagoras merupakan dasar pengembangan rasio perbandingan yang 

membentuk dasar bagi proporsi-proporsi arsitektural dengan mencoba perhitungan Matematis untuk membentuk suatu yang Estetis. Teori Aristoteles mengemukakan teori ruang sebagai tempat dan terbatasnya
Kosmos yang kemudian berkembang sampai dengan timbulnya konsep”Ruang Cartesian”. Teori ini menyatakan bahwa panjang, lebar dan ketebalan membentuk wujud keteraturan geometris seperti grid dua atau tiga dimensi (konsep geometri ruang). Gabungan dari beberapa teori terdahulu dengan teori Vitruvius menghasilkan teori Proporsi pada Renaissance yang mengutamakan KEHARMONISAN.

Proporsi, 
Adalah perbandingan antara tiap-tiap dimensi sehingga menghasilkan keseimbangan dimensi. Teori ini diterapkan berdasar pada penerapan tubuh manusia melalui sistem-sistem geometris dan matematis yang menghasilkan bentuk-bentuk yang unik dan sistem-sistem universal. Teori Proporsi yang diterapkan Andrea Palladio (1508  –  1580) menegaskan adanya tujuh buah ruang yang paling indah proporsinya, yaitu berupa “Tujuh Bentuk Denah Ruang-Ruang yang Ideal” (Lihat Gambar). Selain itu Palladio mengusulkan
beberapa cara untuk menentukan ketinggian yang benar, untuk ruang-ruang yang memiliki langit-langit datar, tinggi ruang seharusnya 1/3 lebih  besar dari pada lebarnya. Palladio menggunakan Pythagoras untuk menentukan tingginya ruang dengan menggunakan matematika, geometri dan harmoni.
MATEMATIS  : C – B / B – A = C / C    misalnya 1,2,3 atau 6,9,12
GEOMETRIS  : C – B / B – A = C / B   eg.  1,2,4  atau 4,6,9
HARMONIK  : C – B / B – A = C / A eg.  2,3,6  atau 6,8,12
Hukum Pythagoras menyatakan bahwa “segala sesuatu diatur menurut angka-angka”. Plato mengembangkan estetika Pythagoras tentang angka-angka menjadi proporsi estetika dengan menciptakan segiempat-segiempat bujur sangkar dan kubus-kubus peningkatan angka sederhana untuk menciptakan penambahan-
penambahan yang dua maupun 3 x lipat. Deret angka 1, 2, 4, 8, dan 1, 3, 9, 27 ini mengungkapkan struktur alam yang harmonis.  Teori Renaissance mengembangkan  rasio-rasio tersebut tidak hanya pada dimensi sebuah ruang atau façade, tetapi juga di dalam proporsi-proporsi kaitan ruang-ruang dari suatu urutan ruang-ruang atau suatu denah keseluruhan.

Balance,  
Teori ini mengemukakan tentang keseimbangan dalam bentuk, dimensi dan rasio. Keseimbangan ini dibuat melalui suatu yang „Simetris‟ atau „Asimetris‟. Simetris adalah kasus spesial dariprinsip „koheren‟ tiap-tiap elemen. Dari simetri ini dihasilkan sumbu-sumbu atau axis, yang dapat memberikan kesan formal dan
religius. Simetri dalam Arsitektur Renaissance, menjadi :   Simetri dengan prinsip-prinsip Estetika. Memperhatikan keselarasan (harmoni), seperti yang dipakai oleh Palladio atau memperhatikan
kekuatan simbol-simbol bangunan religius seperti karya-karya Michelangelo.   Simetri dengan prinsip-prinsip Konstruktif. Menggunakan rasionalitas dengan aturan-aturan statik untuk membentuk bentang sederhana,
rangka, busur, dome dan lain-lain.

Geometri.  
Geometri pada teori Renaissance terhadap bentuk, dimensi dan rasio menerapkan pendekatan terhadap proporsi melalui struktur tubuh manusia yang diterapkan pada elemen-elemen arsitektur. Analogi antara proporsi tubuh dengan bangunan menjadikan arsitektur mempunyai perbendaharaan istilah „façade‟, „kulit
bangunan‟, „skeleton‟, serta yang hubungan antara ukuran, bentuk dan gerak berupa „skala manusia‟.

Perspektif
Teori Perspektif pada masa Renaissance diawali oleh Brunelleschi yang menerapkan perspektif dalam pengembangan arsitektur terhadap „Ruang dan Bentuk‟. Hal ini tampak pada  karyanya Piazza Del Campidoglio di Roma. Pengembangan prinsip perspektif ini jelas dipengaruhi oleh pemahaman baru
terhadap kaidah optik.

Teknologi
Teknologi sangat mendukung dalam pengembangan konsep-konsep dan teori arsitektur Renaissance. Pertama adalah  ilmu pertukangan yang mendapat kemudahan karena penemuan teknik penyajian stereotomy karya Delorme (1510–1570). Teknik ini dapat menggambarkan pembuatan „busur‟ (vaulting) dengan batu
potongan. Hal ini kemudian dikembangkan pula oleh Gottfried Semper (1803-1879) dengan teori tentang tektonik. Semper mengatakan bahwa bahasa arsitektur adalah bahasa tangan yang perwujudannya adalah tektonik sedangkan ruang perlu diungkap melalui stereotomik. Bahasa tangan ini meliputi cara menyambung unsur konstruksi. Kedua adalah ilmu bangunan yang mengeluarkan tipe-tipe rumah, diikuti dengan perkembangan peraturan dan baku bangunan.

 sumber referensi :

Ching, Francis  DK, 1987,  Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.






Teori Arsitektur Klasik



Arsitektur Klasik merupakan ungkapan dan gambaran perjalanan sejarah arsitektur di Eropa yang secara khusus menunjuk pada karya-karya arsitektur yang bernilai tinggi dan „first class‟. Disebutkan demikian karena karya-karya ini memperlihatkan aturan/pedoman yang ketat dan pertimbangan yang hati-hati sebagai landasan berpikir dan mencipta karya tersebut. Rentang waktu zaman ini adalah dari abad pertama sampai dengan abad ke-14 dengan hembusan angin Romantisism (sebelum masyarakat Eropa memasuki zaman Renaissance sampai dengan pesan dan gerakan Rationalism yang kuat).

Predikat kata „Klasik‟ diberikan pada suatu karya arsitektur yang secara inheren (terkandung dalam benda tersebut yang secara asosiatif seolah-olah selalu melekat dengannya) mengandung nilai-nilai keabadian disamping ketinggian mutu dan nilainya. Teori arsitektur Klasik dengan demikian merupakan suatu perwujudankarya arsitektur yang dilandasi dan dijiwai oleh gagasan dan idealisme Teori Vitruvius khususnya pada suatu kurun waktu sesudah Vitruvius sendiri meninggal dunia.

Bangunan Parthenon di Athena dan Pantheon di Roma merupakan contoh yang sangat baik dariperwujudan teori arsitektur klasik yang dengan sikap kehati-hatian dan seksama mempertimbangkan prinsip-prinsip order, geometri dan ukuran-ukurannya, disertai dengan kehalusan seni “craftmanship”. Perlu diketahui bahwa
bangunan ini mengalami masa pembangunan yang lama, dari saat awal konstruksi, revisi, perbaikan dan penyelesaian berkali-kali hingga sampai pad bentuk akhirnya bisa mencapai lebih dari 200 tahun.
Tradisi berarsitektur yang diawali oleh Vitruvius ternyata  berlanjut terus dalam jaman Arsitektur Klasik ini. Hal ini dapat kita jumpai dalam buku Ensiklopedi Romawi yang disusun oleh Marcus T. Varro, dimana Isodore dari Seville menguraikan dan mengembangkan teori Vitruvius dalam tiga unsur/elemen bangunan yaitu DISPOSITIO, CONSTRUCTIO dan VENUSTAS. Despositio adalah kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan survai lapangan ataupun pekerjaan pada tapak

yang ada, lantai dan pondasi. Venustas adalah berhubungan dengan elemen-elemen yang ditambahkan pada  bangunan demi memenuhi hasrat akan rasa keindahan melalui seni ornamen ataupun dekorasi. Uraian seperti ini menunjukan sudah adanya pergeseran pandangan dari Teori Vitruvius. Lebih jauh Isodore menyatakan apa itu order sebagai berikut: “Kolom, dinamakan begitu karena tinggi dan bulat, menopang seluruh berat
beban bangunan yang ada. Ratio atau Proporsi yang lama menyatakan bahwa lebarnya adalah sepertiga dari tingginya. Dikenal 4 jenis kolom yaitu : Doric, Ionic, Tuscan dan Corinthian, yang berbeda-beda satu dengan yang lain dalam ketinggian dan diameternya. Jenis ke-5, dinamakan ATTIC yang berpenampang persegi-4
ataupun lebih besar dan dibuat dari bata-bata yang disusun”. (Isodore dalam Varro, 19xx).

Pendapat Isodore ini dapat merupakan sejumlah aturan dan  norma bagi karya-karya arsitektur sesudahnya.
Nilai-nilai arsitektur Klasik dapat juga kita temukan pada bangunan-bangunan gereja yang sedang mengawali pertumbuhan dan perkembangan sebagai agama yang baru dan menyebar hampir keseuruh benua Eropa saat itu.  Salah satu bangunan tersebut adalah Hagia Sophia yang digambarkan dalam suatu konteks
urban saat itu sebagai berikut: “Demikianlah bangunan Gereja ini berusaha memberikan sajian bentuk yang
menakjubkan… sebab gedung ini menggapai keatas langit sampai awan dan begitu menonjol diantara bangunan-bangunan yang lain, dari atas gereja ini dapat melihat kebawah keseluruh pelosok kota Konstantinopel. Hagia Sophia adalah bentuk yang demikian menyatu dengan kota Konstantinopel, tetapi dilain pihak sedemikian bersinar dan indah, serta megah, khususnya dalam wawasan perspektivis “Bird Eye
View”. Dan semuanya ini menjadi lengkap dan sempurna dengan dipergunakannya bangunan ini untuk kegiatan upacara keagamaan” (Isodore dalam Varro, 19xx).

Teori arsitektur Klasik ini kemudian berlanjut hingga jaman Gothic. Dan untuk meresapkan dan mengerti Arsitektur Gothic ini diperlukan gambaran suasana masyarakatnya pada saat itu dimana timbul spirit kejiwaan yang berusaha mencari hakekat sifat-sifat Tuhan yang ilahi. Spirit kejiwaan ini dituangkan dalam suatu tema
“cahaya ke-Ilahian dalam ruang arsitektur” (Ven, 1991), Kualitas ruang Arsitektur Klasik Gothic ini dinyatakan sebagai keindahan visual yang atmosferik, seperti diaphanitas (kesemrawangan), densitas (kepekatan), obscuritas (kegelapan) atau umbria (bayangan). Gambaran ruang Arsitektur Gothic ini juga dinyatakan sebagai konsep kecerlangan atau kebeningan yang antara lain dapat dilihat pada bentuk-
bentuk jendela khususnya bentuk jendela mawar stained-glass (rosetta) ataupun karya seni kaca timah lainnya.

Hal inlah yang diapresiasikan sebagai prinsip transparancy dalam usaha mengerti dan menangkap “cahaya yang datang dari luar”. Di lain pihak ada karya-karya gereja Gothic yang meminimalisir banyaknya cahaya yang datang, atau bahkan  ada semacam peningkatan sensasi persepsional sampai ke tingkat imaterial. Beberapa contoh bangunan arsitektur Gothic ini adalah Gereja Katedral Amiens, Katedral Rouen, Katedral St.Dennis Abby, Katedral Reims, Katedral Ulm dan lain-lain. Unsur atau bagian lain dalam kelompok arsitektur Klasik Barat yang tak kalah pentingnya adalah Arsitektur Byzantine, Arsitektur Baroque dan Rococo, serta Arsitektur Arabesque (dimunculkannya imbuhan kata Barat, karena dalam jaman yang sama di dunia Timur juga diketemukan karya-karya arsitektur sejenis, yang

setingkat dan mengagumkan tetapi mengandung pemikiran dan nilai-nilai yang berbeda, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Angkor). Ungkapan nilai-nilai aritektur yang disebutkan terakhir ini dinyatakan dan ditulis sebagai suatu teori arsitektur, seperti tertulis sebagai berikut: “Kita dapat menyatakan bahwa bangunan-bangunan ini sebagai obyek arsitektur adalah bersifat massive-tertutup, karena terisolsikan dari ruang sekitarnya, bahwa secara eksterior orang-orang dapat berkeliling melihatnya. Dan karena itu, yang terpenting dan teristimewa dalam mewujudkan identitas bentuk adalah pengolahan tampak dan tampilannya, pengolahan sudut-sudutnya, pengolahan pertemuannya dengan tanah dan ketinggiannya yang menmbus langit. Demikian juga terlihat dengan jelas konsep-konsep Artikulasi dan Kontinuitas. Ada 4 jenis pengolahan sudut, yaitu artikulasi dengan elemen “relief” dengan sudut negative, dengan sudut yang tajam seperti garis, dan dengan sudut yang dilengkungkan, dimana semuanya ini dapat diketemukan secara konsisten pada bagian bawahnya maupun pada bagian atasnya/mahkotanya. Munculnya rasa tertarik dan kagum pada diri orang yang mengalaminya akan obyek arsitektur ini dan lingkungan sekitarnya, sedang bagi seorang arsitek  akan menyadarkannya bagaimana pentingnya gaya-gaya gravitasi yang sedemikian besar dapat disalurkan
ke tanah. Dan hal ini dilakukan agar dapat menaungi dan melingkupi orang-orang didalamnya dan tidak hanya itu saja, tetapi juga menimbulkan rasa kekaguman dan rasa keteguhan, bagaikan “ditancapkan dari atas langit” (Isodore dalam Varro,19xx).

referensi :
 Ching, Francis  DK, 1987,  Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.