Telah banyak disebutkan pada bagian lain, bahwa orang-orang Barat memandang berbagai hal termasuk arsitektur, sebagai ilmu yang dikaji dan dipelajari sehingga mendapatkan berbagai teori. Dengan berubahnya secara sangat cepat dan mendasar budaya masyarakat Barat yang diakibatkan oelh revolusi industri maka terjadi pula perubahan besar dalam pandangan dan teori arsitektur. Pada arsitektur masa pasca Renaissance terjadi percampuran antara gaya-gaya klasik yang sudah ada seperti Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Romanesque, dan Gothic. Hal ini menandai adanya perubahan mendasar dalam arsitektur. Pencampuran terjadi selain karena perubahan kebudayaan, pola pikir juga karena telah lebih banyak pilihan bentuk. Masa itu disebut masa Neo-Klasik. Perkembangan selanjutnya seni klasik dan karya kerajinan tangan semakin ditinggalkan oleh bentuk-bentuk produksi mesin yang cepat praktis dan tidak kalah keindahannya. Salah satunya yang memanfaatkannya adalah Augustus Welby Nortmore Pugin (1812-1852). Hal ini terungkap dari tulisannya sebagai berikut : “Dalam beberapa hal, saya siap untuk menerima bahwa penemuan baru telah
membawa kesempurnaan, tetapi harus diingat hal itu dibuat oleh mesin. Saya tidak ragu-ragu mengatakan jika karya seperti itu meningkat maka karya-karya seni dan kerajinan murni akan turun dalam proporsi lebih besar” (Michel Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997).
Lebih jauh dia memuji jaman pertengahan dengan mengatakan bahwa arsitektur klasik Gothic, identik dengan Katolikisme dan bahwa pada jaman Medieval itu gereja-gereja yang menghiasi kota-kota katholik digantikan oleh pabrik,
penjara atau berubah menjadi fungsi lainnya. Keindahan arsitektur adalah adaptasi dari bentuk kepada fungsi, hal ini menimbulkan inspirasi yang menggerakan para arsitek ke seniman. John Ruskin (1819-1900) berlawan dengan Pugin, tidak setuju pada keindahan klasik. Ia mendukung pendapat bahwa Gothic tidak hanya sebagai
arsitektur gereja, tetapi secara sempurna merupakan suatu arsitektur modern. Dia tidak setuju terhadap eklektisme yang sedang mendominasi dunia arsitektur pada masa itu karena eklektisme cenderung memilih unsur (elemen) terbaik dan menggabungkannya sehingga menjadi “bentuk yang sangat heterogen”. Pertentangan pendapat antara Pugin dan Ruskin terungkap pula pada ketidaksenangan Ruskin pada masyarakat Borjuis dan masyarakat yang „masinal‟. Hal ini terungkap dari tulisannya : “…semua pekerjaan hasil cetakan mesin adalah buruk dan lagipun tidak jujur …”. Dapat dibayangkan mesin sangat mengerikan dan anti kebudayaan. Padahal pada zaman itu, mesin dapat melahirkan suatu keindahan baru misalnya Crystal
Palace atau Istana Kristal di London Inggris. Namun Ruskin membenci bangunan luar biasa ini dan menyebutnya sebagai “suatu ruang kaca untuk ketimun” dan bahwa stasiun kereta api bukanlah suatu karya arsitektural tetapi hasil pekerjaan bersifat industrial. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Meskipun terdapat perbedaan persepsi dalam arsitektur klasik, tetapi dalam hal fungsionalisme tidak terdapat perbedaan pendapat, bahwa idealisme dari suatu arsitektur adalan perpaduan antara bentuk dan fungsi. “Setiap bangunan harus menemukan bentuk sesuai dengan fungsinya, sebuah rumah hendaknya berbeda
dengan kantor atau gereja, dan tanpa menggunakan pandangan ini maka hubungan antara bagian dalam bangunan dengan bagian luarnya akan diabaikan. Tidak seharusnya mengorbankan kamar menjadi gelap tanpa jendela, untuk mendapatkan susunan jendela tampak simetris dari luar atau menambah bagian-bagian tak berguna” (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Dalam idiologi fungsionalisme bahwa arsitektur adalah seni, dimana prinsip-prinsip seni menyatu didalamnya. Bahwa dalam prinsip fungsionalisme nilai konstruksi mempunyai nilai yang sama dengan fungsi. Dianalogikan dengan perahu dimana hampir seluruh bagian dan bentuknya mengacu kepada fungsinya. Walaupun menurut Ruskin bahwa sebagai kapal bukan produk seni tetapi produk konstruksi dan dirancang juga untuk tahan terhadap kabut, angin dan badai, dan hasilnya merupakan suatu bentuk yang indah. Keanggunan arsitektur tidak selalu dibentuk oleh patung-patung maupun dekorasi tetapi oleh seni dan proporsi dalam penataan unit-unit dan bagian-bagiannya. Senada dengan itu Eugen Emmanuel Viollet-le-Duc (1814 –1879) mengungkapkan : “Bahwa arsitektur hendaknya dapat mengekspresikan „kekuatan‟ seperti halnya mesin uap, listrik dan dapat memanfaatkan material baru misalnya
baja. Dan apabila suatu bentuk tidak dapat menjelaskan alasan mengapa demikian, maka dia tidak akan memancarkan keindahan”. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo,1997).
Pendapat itu betul-betul kontroversial, bertentangan dengan kaidah-kaidah keindahan pada masa itu. Sehingga membawa Viollet-le-Duc kembali kepada kesimpulan dan definisi fungsionalisme yang dikemukakan Pugin, Ruskin dan Wlliam Morris, seperti diungkap; “Bila bentuk secara murni memberikan indikasi dan
membuat mengerti untuk apa produk ini dibuat, maka bentuk itu baik. Contoh dalam kehidupan misalnya, bagi yang mengerti fungsinya maka seseorang dapat mengerti bahwa segala ciptaan alam memancarkan keindahan …. Apabila kita memperhatikan dan memahami suatu bentuk mekanisme atau sistem seperti misalnya sayap burung berfungsi sama dengan sirip ikan, jelas masing-masing untuk terbang dan berenang, maka kita akan mengagumi dan melihat pancaran keindahan … setelah itu kita akan mengatakan bahwa burung mempunyai sayap untuk terbang dan ia terbang karena bersayap. Burung terbang dengan sayapnya adalah suatu hasil mekanisme sebuah “mesin” yang sempurna sehingga membuatnya dapat terbang”.Ungkapan tersebut diatas menjelaskan kepada kita bagaimana teori keindahan mendasari konsep fungsionalisme.
sumber referensi :
Ching, Francis DK, 1987, Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.
Tjahyono, Gunawan, 1999, “Teori Arsitektur di Dunia Barat”, makalah Penataran
membawa kesempurnaan, tetapi harus diingat hal itu dibuat oleh mesin. Saya tidak ragu-ragu mengatakan jika karya seperti itu meningkat maka karya-karya seni dan kerajinan murni akan turun dalam proporsi lebih besar” (Michel Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997).
Lebih jauh dia memuji jaman pertengahan dengan mengatakan bahwa arsitektur klasik Gothic, identik dengan Katolikisme dan bahwa pada jaman Medieval itu gereja-gereja yang menghiasi kota-kota katholik digantikan oleh pabrik,
penjara atau berubah menjadi fungsi lainnya. Keindahan arsitektur adalah adaptasi dari bentuk kepada fungsi, hal ini menimbulkan inspirasi yang menggerakan para arsitek ke seniman. John Ruskin (1819-1900) berlawan dengan Pugin, tidak setuju pada keindahan klasik. Ia mendukung pendapat bahwa Gothic tidak hanya sebagai
arsitektur gereja, tetapi secara sempurna merupakan suatu arsitektur modern. Dia tidak setuju terhadap eklektisme yang sedang mendominasi dunia arsitektur pada masa itu karena eklektisme cenderung memilih unsur (elemen) terbaik dan menggabungkannya sehingga menjadi “bentuk yang sangat heterogen”. Pertentangan pendapat antara Pugin dan Ruskin terungkap pula pada ketidaksenangan Ruskin pada masyarakat Borjuis dan masyarakat yang „masinal‟. Hal ini terungkap dari tulisannya : “…semua pekerjaan hasil cetakan mesin adalah buruk dan lagipun tidak jujur …”. Dapat dibayangkan mesin sangat mengerikan dan anti kebudayaan. Padahal pada zaman itu, mesin dapat melahirkan suatu keindahan baru misalnya Crystal
Palace atau Istana Kristal di London Inggris. Namun Ruskin membenci bangunan luar biasa ini dan menyebutnya sebagai “suatu ruang kaca untuk ketimun” dan bahwa stasiun kereta api bukanlah suatu karya arsitektural tetapi hasil pekerjaan bersifat industrial. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Meskipun terdapat perbedaan persepsi dalam arsitektur klasik, tetapi dalam hal fungsionalisme tidak terdapat perbedaan pendapat, bahwa idealisme dari suatu arsitektur adalan perpaduan antara bentuk dan fungsi. “Setiap bangunan harus menemukan bentuk sesuai dengan fungsinya, sebuah rumah hendaknya berbeda
dengan kantor atau gereja, dan tanpa menggunakan pandangan ini maka hubungan antara bagian dalam bangunan dengan bagian luarnya akan diabaikan. Tidak seharusnya mengorbankan kamar menjadi gelap tanpa jendela, untuk mendapatkan susunan jendela tampak simetris dari luar atau menambah bagian-bagian tak berguna” (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo, 1997). Dalam idiologi fungsionalisme bahwa arsitektur adalah seni, dimana prinsip-prinsip seni menyatu didalamnya. Bahwa dalam prinsip fungsionalisme nilai konstruksi mempunyai nilai yang sama dengan fungsi. Dianalogikan dengan perahu dimana hampir seluruh bagian dan bentuknya mengacu kepada fungsinya. Walaupun menurut Ruskin bahwa sebagai kapal bukan produk seni tetapi produk konstruksi dan dirancang juga untuk tahan terhadap kabut, angin dan badai, dan hasilnya merupakan suatu bentuk yang indah. Keanggunan arsitektur tidak selalu dibentuk oleh patung-patung maupun dekorasi tetapi oleh seni dan proporsi dalam penataan unit-unit dan bagian-bagiannya. Senada dengan itu Eugen Emmanuel Viollet-le-Duc (1814 –1879) mengungkapkan : “Bahwa arsitektur hendaknya dapat mengekspresikan „kekuatan‟ seperti halnya mesin uap, listrik dan dapat memanfaatkan material baru misalnya
baja. Dan apabila suatu bentuk tidak dapat menjelaskan alasan mengapa demikian, maka dia tidak akan memancarkan keindahan”. (Ragon, dalam Yulianto Sumalyo,1997).
Pendapat itu betul-betul kontroversial, bertentangan dengan kaidah-kaidah keindahan pada masa itu. Sehingga membawa Viollet-le-Duc kembali kepada kesimpulan dan definisi fungsionalisme yang dikemukakan Pugin, Ruskin dan Wlliam Morris, seperti diungkap; “Bila bentuk secara murni memberikan indikasi dan
membuat mengerti untuk apa produk ini dibuat, maka bentuk itu baik. Contoh dalam kehidupan misalnya, bagi yang mengerti fungsinya maka seseorang dapat mengerti bahwa segala ciptaan alam memancarkan keindahan …. Apabila kita memperhatikan dan memahami suatu bentuk mekanisme atau sistem seperti misalnya sayap burung berfungsi sama dengan sirip ikan, jelas masing-masing untuk terbang dan berenang, maka kita akan mengagumi dan melihat pancaran keindahan … setelah itu kita akan mengatakan bahwa burung mempunyai sayap untuk terbang dan ia terbang karena bersayap. Burung terbang dengan sayapnya adalah suatu hasil mekanisme sebuah “mesin” yang sempurna sehingga membuatnya dapat terbang”.Ungkapan tersebut diatas menjelaskan kepada kita bagaimana teori keindahan mendasari konsep fungsionalisme.
sumber referensi :
Ching, Francis DK, 1987, Architecture: From, Space and Order, Van Nostrand
Reinhold.
Funk dan Wagnalls, 1990, New Encyclopedia, vol – 22.
Klassen, Winand, 1992, Architecture and Philosophy, Philipines: Calvano Printers
Cebu City.
Kruf, Hanno-Walter, 1994, A History of Architectural Theory, Princenton
Architectural Press.
Mangunwijaya, YB, 1987, Wastu Citra, Gramedia, Jakarta.
Meiss, Pierre von, 1985, Elements of Architecture, Van Nostrand Reinhold.
Soger, Smith T., 1987, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Soger, Smith T., 1989, An Ilustrated of History Architecture Style, Omega Books.
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Moder Akhir Abad XIX dan Abad XX.
Gajahmada University Press, Yagyakarta.
Tjahyono, Gunawan, 1999, “Teori Arsitektur di Dunia Barat”, makalah Penataran