Pembangunan
rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan
hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam
kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada
upaya agar kayu mati tadi dihidupkan. Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup
kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah
berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber
mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga
memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.Hanya
dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini
menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau
kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas
kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba’), beringin,
cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai
sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila
pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung.
Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan
rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung
sebagai laki-laki (londongna banua).
Hubungan antara keduanya adalah hubungan
saudara.
Ini
misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang
pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (a’riri posi’), yaitu anak dara-anak
dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan
yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane).
Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan
hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua
pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara
perempuan) yang berdiam di bumi. Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus
didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka’), yang sudah
diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal
ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip
salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka’).
Yang
menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi
kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita
sangka’ yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi’) tentang
kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai.
Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung.
Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian
kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya
(ullambe) rezeki (dalle’), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan),
dan kekayaan (eanan).
Tuturan
ritus Masyarakat
Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein
katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya
akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan
bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur
mendatangkan kebaikan (kameloan). Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon
terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos
turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan
Enrekang) Tangdilino’ menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke
dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang
pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang
menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka
menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara.
Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan
mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari
totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya,
pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia
seutuhnya, dan seterusnya. Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan
Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah
membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu
dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara
(subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan
lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama,
kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan
kesuburan dan kehidupan.
http://kampoeng-heber.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar