Tampilkan postingan dengan label budaya bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya bali. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 November 2011

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI JILID 1

Bali terletak di daerah khatulistiwa dengan daerah tropis dengan suhu rata-rata 26oC.
Umumnya, perkampungan di Bali menggunakan pola Pempatan Agung yang disebut Nyatur Desa atau Nyatur Muka. Dua jalan utama yang menyilang desa, Timur dan Barat serta Utara-Selatan membentuk silang pempatan sebagai pusat desa. Balai Banjar sebagai pusat pelayanan sub lingkungan menempati keempat arah ke arah sisi desa dengan jalan-jalan sublingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama.

Di Pempatan Agung sebagai  pusat lingkungan, Pura desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zone kaja kangin, Balai Banjar atau wantilan desa menempati zone kaja kauh, lapangan desa menempati zone kelod kangin, dan zone kelod kauh ditempati pasar desa. Kuburan desa ditempatkan di luar desa pada arah kelod atau kauh yang merupakan zone bernilai rendah. Tata letak perumahan dan bangunan-bangunan pelayanan disesuaikan dengan keadaan alam dan adat kebiasaan setempat.


Potensi dan kondisi alam lingkungan lokasi desa banyak mempengaruhi pola  perkampungan. Desa nelayan umumnya memanjang sepanjang pantai menghadap ke arah laut, pola lingkungan mendekati bentuk linier dengan jalan searah pantai. Ruang-ruang terbuka untuk aktivitas bersama diletakkan di dekat pantai karena penggunaannya berkaitan  dengan matapencaharian masyarakat sebagai nelayan. 

Pola perkampungan petani umumnya berorientasi ke arah tengah dengan ruang-ruang terbuka di tengah sebagai ruang bersama. Arah ke luar desa digunakan untuk kandang-kandang ternak dan hubungan ke tempat kerja di
luar desa.

Desa-desa di pegunungan umumnya berorientasi ke arah puncak gunung, di mana lintasan jalan yang membentuk pola lingkungan disesuaikan dengan kemiringan lahan dan lereng. Puncak tertinggi digunakan sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama dan tempat untuk pemujaan di masing-masing keluarga ditempatkan di bagian yang lebih tinggi atau ke arah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng ke beberapa arah menjadikan tempat suci tidak hanya ke arah kaja atau kangin. Pola perkampungan di desa yang lokasinya di dataran dengan latar belakang laut atau pegunungan umumnya mendekati pola-pola tradisional yang umum berlaku.

Pola perkampungan berpusat di tengah dengan Pempatan Agung sebagai pusat desa. Penataannya disesuaikan dengan keadaan lokasi dan sistem kemasyarakatannya. Lokasi desa ada di pegunungan, di dataran, dan di pantai. Desa-desa di pegunungan umumnya menggunakan pola menyebar, cenderung mendekati tempat-tempat kerja di perkebunan atau ladang pertanian. Pola perkampungan menyebar membentuk sub-sub lingkungan yang berjauhan yang dihubungkan dengan jalan setapak ke desa induk. Pamerajan atau sanggah dadia dan kawitan ada di desa induk. Balai banjar ada di desa induk dan juga dibangun di sub-sub lingkungan.


Masyarakat Unit-unit permukiman di Bali disebut Desa Adat yang mengatur horisontal, satu atau beberapa desa adat  disebut desa administratif atau desa dinas yang mengatur vertikal ke bawah dan pemerintahan di atasnya.

Syarat untuk adanya suatu desa adat adalah lengkapnya Tri Hita Karana: atma, angga, dan khaya (jiwa, fisik, dan tenaga) yang berlaku pula bagi kehidupan lainnya. Dalam suatu desa adat, Kahyangan Tiga sebagai jiwa, Siwa Krama Desa (penduduk yang berpemerintahan) sebagai tenaga, dan teritorial desa sebagai fisiknya. Dengan demikian, penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal menetap, berpemerintahan, dan diatur oleh peraturan-peraturan adat desa. Di dalam suatu desa adat ada ikatan-ikatan kependudukan yang disebut nyama (keluarga), soroh (klan), pisaga (tetangga), braya (keluarga luar), tunggal dadia (satu keturunan). Penduduk suatu desa umumnya terdiri dari beberapa keluarga atau beberapa klan sehingga di satu desa atau di satu banjar ada beberapa sanggah pamerajan kawitan atau dadia. Penduduk di Bali juga terdiri dari beberapa tingkatan kasta: Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.

Tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional dengan baik disebabkan pula oleh agama, adat dan kepercayaannya yang hidup sejalan dengan arsitekturnya. Ajaran agama Hindu yang dianut oleh penduduknya
menjiwai dan melatarbelekangi arsitektur Bali. 80% penduduk Bali adalah petani. Masyarakat yang mula-mula menghuni Bali disebut sebagai penduduk Bali Mula. Imigran-imigran dari India yang masuk ke Indonesia masuk pula ke Bali yang kemudian dianggap sebagai penduduk Bali Aga atau Bali pegunungan. Ketika Bali dikuasai oleh  Majapahit pada abad ke-14, masuklah orang-orang Majapahit ke Bali, yang kemudian disebut sebagai penduduk Bali Arya.

Arsitektur tradisional Bali berkembang pesat setelah masuknya Bali Arya dari Majapahit yang disertai masuknya budayawan. Desa adat merupakan suatu bentuk permukiman dengan pola “tri hita karana” jiwa, fisik, dan tenaga, yang masing-masing diwujudkan dalam bentuk kahyangan tiga, desa pakraman dan
sima krama sebagai  tempat ibadah, teritorial fisik desa dan warga dengan tata aturannya. Rumah tinggal merupakan unit-unit perumahan yang diatur dalam kelompok-kelompok “banjar” sebagai unit sub lingkungan dalam sebuah desa.


Tingkatan-tingkatan kasta, status sosial, dan peranannya di masyarakat merupakan faktor-faktor tingkat perwujudan rumah tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah ke dalam tingkatannya ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang, tipe bangunan, fungsi, bentuk, dan bahan
penyelesaiannya. Rumah tinggal diberi nama sesuai tingkatan kasta yang menempatinya. Puri merupakan rumah tinggal utama, Geria, Jero, dan Umah untuk rumah tingkat madya atau utama, dan kadang sederhana, sedangkan kubu dan pakubon untuk tingkat sederhana.

1. Geria
Rumah tinggal untuk kasta Brahmana disebut geria yang umumnya menempati zone utama dari suatu pola lingkungan. Pola ruang geria disesuaikan dengan peranan Brahmana selaku pengemban bidang spiritual.

2. Puri
Puri merupakan tempat tinggal untuk kasta Ksatria yang memegang pemerintahan Umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut pempatan agung di pusat desa. Puri umumnya dibangun dengan zoning berpola sanga mandala, yakni semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan-bangunan puri sebagian mengambil tipe utama. Antara zone satu dan lainnya dari petak ke petak dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing-
masing bagian antara lain untuk:
o  Ancak saji: halaman pertama untuk mempersiapkan diri masuk ke Puri (kelod kauh)
o  Semanggen untuk area upacara pitra yadnya/kematian (kelod)
o  Rangki untuk area tamu-tamu paseban/persiapan sidang, pemeriksaan, dan pengamanan (kauh)
o  Pewaregan untuk area dapur dan perbekalan (kelod kangin)
o  Lumbung untuk penyimpanan dan pengolahan bahan perbekalan/padi dan prosesnya (kaja kauh)
o  Saren kaja untuk tempat tinggal istri-istri raja (kaja)
o  Saren kangin/saren agung untuk tempat tingal raja (kangin)
o  Paseban untuk area pertemuan/sidang kerajaan (tengah)
o  Pamerajan agung untuk tempat suci perhyangan (kaja kangin)

Jero
Jero merupakan tempat tinggal untuk kasta Ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan zoning, serta bangunannya umumnya lebih sederhana daripada Puri. Sesuai fungsinya, pola ruang jero dirancang dengan triangga: pamerajan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal, dan jabaan sebagai area pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana Puri, Jero juga menempati zoning utama kaja, kangin, atau kaja kangin yang umumnya berada di pusat desa.

Umah
Umah merupakan tempat tinggal kasta Wesia atau mereka  yang bukan dari kasta Brahmana dan Ksatria. Kedua kasta tersebut hanya sekitar 10% dari penduduk Bali.  Sebagian besar penduduk desa-desa dipegunungan dan pantai bukanlah kasta Brahmana atau Ksatria, sehingga rumah-rumah yang ada di daerah tersebut hanyalah  umah. Lokasi umah dalam perumahan di suatu desa dapat menempati sisi-sisi utara, selatan, timur atau barat dari jalan desa. Pusat-pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale banjar di pusat-pusat sub lingkungan. Unit-unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai
halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan massa-massa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke pekarangan. Ruangan dapur, tempat kerja, lumbung, dan tempat tidur di bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa-massa bangunan umah tempat tinggal menempati bagian-bagian utara, selatan, timur, dan barat membentuk halaman natah di tengah. 

Kubu
Rumah tempat tinggal di luar pusat permukiman, di ladang, perkebunan atau tempat lainnya disebut kubu atau pakubon. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman. Penghuni rumah tinggal pakubon atau kubu adalah petani atau  nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa dengan pola rumah/umah.
Dapur, tempat kerja, lumbung, dan tempat tidur masing-masing berada di bawah satu atap/massa bangunan. Konstruksi bangunan, pemakaian bahan dan penyelesaiannya sederhana dan umumnya tidak permanen.  Batas pekarangan menggunakan pagar hidup, bangunan berlantai tanah, tiang dan rangka atap kayu atau bambu, dinding gedeg atap alang-alang. Detail-detail tanpa hiasan.

Untuk kegiatan spiritual, pengurusan atau bentuk-bentuk kehidupan tertentu pakubon disebut pedukuhan. Penghuni pedukuhan umumnya adalah mereka yang sudah lanjut usia dengan kegiatan yang mengarah pada sosial spiritual. Pedukuhan terletak di luar desa dengan suasana lingkungan yang mendukung fungsinya.
Dalam kehidupan tradisional, jadwal waktu dipolakan dalam empat brahmacari masa belajar, grehastha masa berumah tangga, wanaprastha masa pengabdian pengetahuan pengalaman sosial dan bhiksuka masa pendekatan ke alam abadi. Pada periode wanaprastha bertempat tinggal di pedukuhan.

Tipologi
Tipologi bangunan  tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya, dan sederhana. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakepat (bangunan bertiang empat), yang membesar menjadi bangunan bertiang enam, delapan, sembilan, dan duabelas. Dari bangunan  bertiang 12 dikembangkan dengan emper ke depan serta ke samping dengan  penambahan tiang berjajar. Tembok penyengker (batas) pekarangan, kori, dan lumbung dalam bangunan perumahan tipologinya disesuaikan dengan tingkatan perumahan dengan fungsinya masing-masing.

Sakepat
Bangunan sakepat berukuran 3 x 2,5 meter bertiang 4.  Fungsi sakepat dan  letaknya:
o  sebagai sumanggen diletakkan di timur
o  sebagai pamerajan (untuk piyasan) diletakkan di barat
o  sebagai paon diletakkan di kelod kauh
Sakenem
Sakenem berbentuk persegi panajng dengan ukuran 6 x 2 meter. Fungsi sakenem berdasarkan letaknya:
o  sebagai sumanggen diletakkan di kangin atau kelod
o  sebagai paon ditempatkan di kelod kauh
o  sebagai bale dauh ditempatkan di kaja kelod
Sakutus
Sakutus merupakan bangunan madya dengan fungsi tunggal untuk tempat tidur  (bale meten) yang terletak di bagian kaja menghadap kelod. Sakutus berhadapan dengan semanggen, dengan natah di antara keduanya.
Pada proses pembangunan rumah, sakutus merupakan bangunan awal yang disebut paturon, selanjutnya perletakan bangunan lain ditentukan berdasarkan bale meten sakutus.
Sakutus merupakan bangunan persegi panjang berukuran 5 x 2,5 meter dengan konstruksi 8 tiang. Atapnya menggunakan sistem kampiyah, bukan limasan. Lantai bale sakutus lebih tinggi daripada bangunan lainnya.

Astasari
Dalam fungsinya sebagai sumanggen atau piyasan di pamerajan atau sanggah, astasari diklasifikasikan sebagai bangunan utama. Bangunan ini terletak di bagian kangin atau kelod yang berfungsi sebagai bale sumanggen, bangunan tempat upacara adat, tamu, dan tempat bekerja atau ruang serbaguna.  Astasari merupakan sebuah bangunan persegi panjang berukuran 4 x 5 meter  dengan tinggi lantai sekitar 0,6 meter yang terdiri dari 3-4 anak tangga dari natah. Dinding penuh terletak pada sisi kangin dan kelod, sedangkan dinding setengah sisi dan setengah tinggi terletak pada sisi teben kauh, dan terbuka ke arah natah.

Tiangsanga
Bentuk dan fungsi bangunan tiangsanga serupa dengan astasari, namun sedikit lebih luas dan memiliki tiang 9. Atap bangunan berbentuk limasan dengan puncak dedeleg dan berpenutup alang-alang. Fungsi utama bangunan tiangsanga adalah untuk sumanggen, yang terletak di bagian kangin atau kelod. Bangunan ini disebut juga bale dangin atau bale delod. Dinding tembok pada dua atau tiga sisi terbuka ke arah natah. Bangunan tiangsanga dapat pula difungsikan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah memisah ke arah luan balai-balai untuk ruang tidur dan ke arah teben untuk ruang duduk. Untuk tiangsanga yang difungsikan
sebagai tempat tidur umumnya menempati bagian barat menghadap ke timur.

sumber referensi :
Arinton Puja (ed) (1985)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Tahun 1981/1982

Selasa, 21 Juni 2011

Aspek Strata Sosial di Bali

Setelah Gajah Mada melakukan penyerangan ke Bali, terjadi perubahan dalam tatanan sosial budaya masyarakat Bali dengan masuknya pengaruh-pengaruh dari Majapahit ke bali.



Struktur Pemerintahan

Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.

Sistem Kepemimpinan

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra.

Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha.

Kehidupan beragama

Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha.

Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

Bidang Kesenian dan Kesusastraan

Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parbwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya.

Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.

Sumber harian BaliAga

Senin, 20 Juni 2011

Sekilas Budaya Bali

SEJARAH
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.



DESKRIPSI LOKASI
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil yang beribu kota Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tempat tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Suku bangsa Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk asli Bali biasa tinggal di daerah trunyan), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu / keturunan Bali Mojopahit).

UNSUR – UNSUR BUDAYA

A. BAHASA
Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit.yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

B. PENGETAHUAN
Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-kesatuan social yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan social tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan,tetapi sering kali juga harus memecahkan soal-soal yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang sifatnya administrasi pemerintahan.

C. TEKNOLOGI
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.

D. ORGANISASI SOSIAL
a). Perkawinan
Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita.
Di beberapa daerah Bali ( tidak semua daerah ), berlaku pula adat penyerahan mas kawin ( petuku luh), tetapi sekarang ini terutama diantara keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

b). Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
c). Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu : desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.

E. MATA PENCAHARIAN
Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan babi sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.

F. RELIGI
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.

Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa ratri.

Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa (filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa. (2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu manusia.

G. KESENIAN
Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik, dan seni audiovisual misalnya seni video dan film.

NILAI-NILAI BUDAYA
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti untuk keperluan agama.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.

ASPEK PEMBANGUNAN
Di Bali jenis mata pencahariannya adalah bertani disawah. Mata pencaharian pokok tersebut mulai bergeser pada jenis mata pencaharian non pertanian. Pergeseran ini terjadi karena bahwa pada saat sekarang dengan berkembangnya industri pariwisata di daerah Bali, maka mereka menganggap mulai berkembanglah pula terutama dalam mata pencaharian penduduknya.

Sehingga kebanyakan orang menjual lahannya untuk industri pariwisata yang dirasakan lebih besar dan lebih cepat dinikmati. Pendapatan yang diperoleh saat ini kebanyakan dari mata pencaharian non pertanian, seperti : tukang, sopir, industri, dan kerajinan rumah tangga. Industri kerajinan rumah tangga seperti memimpin usaha selip tepung, selip kelapa, penyosohan beras, usaha bordir atau jahit menjahit.

DAFTAR PUSTAKA

Swarsi, Si Luh;1986;Kedudukan Dan Peranan Wanita Pedesaan Daerah Bali;Jakarta: Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan
Dhana, I Nyoman;1994;Pembinaan Budaya Dalam Keluarga Daerah Bali;Bali: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Mitos atau Fakta Indianisasi Dibali

ISTILAH Indianisasi baru dikenal mendekati abad ke-19, ketika Raffles mengangkat Indianisasi sebagai topik yang digenari melalui buku ”The History of Java”. Namun, Raffles tidak sendiri, peristiwa yang paling dramatik dalam merumuskan Indianisasi terjadi pada saat segerombolan tentara Inggris yang berasal dari Bangali mencetuskan pemberontakan Sepoy di Jawa Tengah pada tahun 1815 (Denys Lombard: 1996).


Setelah mereka merebut Yogyakarta (pada tahun 1812), beberapa perwira, di antaranya bernama Kapten Dhaugkul Sigh, terkejut melihat bahwa Jawa adalah tanah Brahma dan bahwa Sunan adalah keturunan Rama. Berdasarkan alasan keyakinan keagamaan seperti itu, mereka merumuskan gagasan pemberontakan pada kekuasaan Inggris demi memulihkan kekuasaan Hindu di Jawa. Pemberontakan itu gagal, tetapi peristiwa itu perlu diberi tempat dalam sejarah mitos Indianisasi.

Setelah Raffles, gagasan Indianisasi dilanjutkan oleh para sarjana Belanda, yang beberapa di antaranya ahli bahasa Sansekerta, seperti J.LA Brandes, H. Kern, N.J Korn, dan WF Stutterheim. Pada tahun 1918, ditulis artikel yang terkenal dari George Coodes yang menghidupkan kenangan akan Kerajaan Sriwijaya, dilanjutkan dengan Krom yang menerbitkan tulisannya berjudul ”Hindoe-Javaansche Geschiedenis” (sejarah Hindu-Jawa), pada tahun 1931.

Beberapa sarjana India juga tertarik dengan wacana Indianisasi seperti RC Majumdar dan HB Sarkar. Tetapi yang monumental adalah kunjungan Rabindranath Tagore pada tahun 1930 yang secara jelas menyebutkan bahwa “ia memang merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali”.

Bali Kuna

Walaupun bukti-bukti Indianisasi sudah secara meyakinkan disampaikan oleh para sarjana Indolog Inggris dan Belanda, namun ada dua catatan penting yang berkaitan dengan Indianisasi di Indonesia, khususnya di Bali. Pertama, mitos India lebih menjadi fenomena Jawa/Bali Kuna dibandingkan dengan fenomena Bali Majapahit. Disebut Bali Majapahit untuk membedakan dengan Bali kuna, yang memang secara kuat dihubungkan dengan India.

Kedua, Indianisasi tidak sepenuhnya berhasil membangun secara totalitas peradaban India karena Indianisasi harus berhadapan dengan fragmentasi paham keagaman serta masih hidupnya sistem kepercayaan lokal sebelum Indianisasi berkembang. Oleh karena terjadi pola penerimaan dan pertukaran antara peradaban India dengan lokalitas. Bentuk akhirnya bisa bermacam-macam; di Jawa melahirkan Kejawen, di Bali menghasilan sistem beragama yang khas Bali. Ketiga, Indianisasi sangat terkait dengan bangun kekuasaan politik yang menopangnya. Dengan demikian Indianisasi tidak an sich fenomena kebudayaan melainkan juga fenomena politik.

Secara historis, Indianisasi pada masa Buli Kuna dihubungkan dengan kelahiran dan berkembangnya berbagai sekte, mulai dari sekte Sambu, Brahma, Indra, Wisnu (Wesnawa), Bayu dan Kala, yang tentu saja mengalami interaksi dengan kepercayaan lokal pada saat itu. Interaksi antara berbagai sekte dengan kepercayaan lokal menyebabkan paham keagamaan yang terbangun tidak sepenuhnya bertahan dalam bentuk aslinya (otentisitas) melainkan mengalami proses silang budaya dengan kepercayaan lokal.

Di samping menghadapi pengalaman dengan kepercayaan lokal, paham keagaman yang bersendikan pada sekte hidup dalam pluralitas yang bisa saja berakhir dengan benturan-benturan paham keagamaan. Dalam konteks seperti itu, sekitar 923 Caka, oleh Mpu Kuturan yang bertindak sebagai Senapati Pakiran-kiran I Jero Makabehan, keberagaman sekte-sekte itu kemudian diakomodasi dalam konsep Tri Kahyangan.

Selain kehadiran sekte-sekte, pengaruh India juga terlihat dari konsep pakraman. Pakraman pada dasarnya sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam tradisi India. Tatanan itu disebut dengan Grama yang artinya tatanan (sekarang di India disebut Grama Penchayat). Di Bali, istilah grama ini diterima menjadi krama dan selanjutnya menjadi pakraman. Dengan demikian, sistem sosial Bali Kuna merupakan reproduksi tatanan sosial di India.

Jejak pengaruh India juga terlihat dalam legenda dan mitologi yang berkembang secara historis pada masa Jawa/ Bali Kuna; Pertama, legenda Aji Saka, yang mengisahkan bagaimana seorang keturunan Brahmana dari India dan menetap di Medang Kemulan. Aji Saka kemudian dikisahkan bisa membangun ketertiban dan peradaban setelah mengalahkan Prabu Baka yang berwatak raksasa (tidak beradab).

Kisah kedua tercantum dalam kitab Tantu Pagelaran. Dalam Tantu Pagelaran diceritakan asal mula Batara Guru yang pergi bersemedi di Gunung Dieng untuk meminta pada Brahma dan Wisnu agar Pulau Jawa diberi penghuni. Akhirnya Brahma menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu menciptakan kaum perempuan. Di samping itu dikisahkan juga semua dewa menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru dari Jambhu Dwipa. Sejak itu gunung yang disebut pinkalalingganingbhuwana itu tertanam di Pulau Jawa. Kisah legenda ketiga adalah kedatangan dinasti Warmadewa yang lebih dihubungkan dengan India dibandingkan dengan Jawa. Walaupun hubungan dengan Jawa akhirnya terbangun ketika putra Udayana, yang bernama Airlangga menjadi menantu Raja Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama di Pulau Jawa dan kemudian memegang kekuasaan atas pulau Jawa.

Proses Indianisasi mengalami kemunduran ketika kuasa politik para Maharaj di India kemudian jatuh ke tangan Sultan-sultan Moghul yang beragama Islam. Kemunduran itu memungkinkan bagi terjadinya bentuk baru dalam pembangunan sistem kepercayaan di wilayah-wilayah yang dahulunya menjadi sasaran Indianisasi. Salah satu bentuk kreasi lokal yang paling nampak dalam sejarah adalah ekspansi sistem keagamaan yang dibawa oleh kekuasaan Majapahit.

Bali Majapahit

Berbeda dengan Bali Kuna yang secara kuat dipengaruhi oleh mitos India, mitos India tidak begitu kuat pengaruhnya di Bali Majapahit, karena Bali Majapahit lebih dekat dengan mitos Jawa. Hal ini nampak dari beberapa teks dan mitologi yang berkembang di Bali, mulai dari kitab Usana Jawa, Usana Bali, Batur Kemulan sampai dengan sejarah Pancaka Tirta. Dalam berbagai kisah mitologi, Gunung Tonglangkir diceritakan sebagai penggalan Gunung Mahameru; Gunung Semeru, Tonglangkir dan Rinjani. Demikian pula dengan asa-usul geneologis; Hyang Putra Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh yang bersumber dari Sang Hyang Pasupati yang bersemayam di Gunung Semeru di Pulau Jawa.

Selanjutnya mitos Jawa ini diperkuat oleh kedatangan ekspedisi Gadjah Mada ke Bali yang menempatkan Dinasti Kepakisan sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Bali. Kehadiran bangun kuasa baru ini tidak hanya berpengaruh pada pembentukan tatanan sosial-politik baru yang sering disebut Negara dan desa-desa Apanage (majapahit), namun kemudian menegakan sebuah tafsir keagamaan baru yang hegemonik. Tafsir keagamaan inilah yang kemudian melalui instrumen kekuasaan masuk secara penetratif ke desa-desa Bali Kuna (James Danandjaja:1990).

Namun, penetrasi sistem kepercayaan dominan itu tidak selalu berakibat penghancuran pada sistem agama lokal, kadangkala hubungannya bisa koeksistensi atau bahkan sinkretisme, di mana sistem agama dominan berdampingan dengan sistem agama lokal.

Walaupun demikian, sistem kepercayaan yang dianut oleh pemegang kuasa politik menjadi acuan dari sistem kepercayaan sosial masyarakat Bali keseluruhan. Relasi antara kekuasaan dan bangun paham keagamaan sedemikian kuatnya sehingga keduanya berada dalam hubungan yang mutualistik. Hal ini nampak jelas dalam lontar Widhi Papinjatan dan sebagainya.

Secara geneologis, pemegang kuasa politik di Bali juga cenderung mencari garis pertautan silsilah dengan Jawa bukan dengan India. Misalnya dinasti Kepakisan dan keturunan Dhyang Nirartha dihubungkan dengan Mpu Tantular dan Mpu Bharadah yang memegang peranan politik di Jawa. Demikian pula dengan keturunan para Arya di Bali yang mencari pertautan dengan kekuasaan Jayabhaya di Kediri.

Bali Baru

Dalam konteks Bali baru, Indianisasi tentu saja akan dipahami berbeda dengan Indianisasi pada masa Bali Kuna. Berbeda dengan masa lalu, proses Indianisasi sangat didukung oleh sistem perdagangan global dan pola ekspansi paham keagamaan yang ditopang oleh kekuasaan politik, Indianisasi sangat dibantu oleh globalisasi dan mempunyai banyak wajah.

Bagi kalangan yang pembela sistem beragama dengan kebudayaan lokal, Indianisasi dianggap mengabaikan nilai dan sistem lokal, sehingga dianggap sebagai bentuk gerakan penyeragaman (homogenisasi) cara beragama yang baru. Kritik ini didasarkan atas pengertian Indianisasi sebagai peminjaman acuan tradisi keberagaman yang secara umum digunakan di India untuk diterapkan dalam konteks lokal di luar India.

Namun dalam pengertian yang berbeda, Indianisasi juga dapat dibaca dalam tiga kecenderungan. Pertama, Indianisasi sebagai “anak kandung” dari globalisasi. Dalam globalisasi, keterjarakan ruang dan waktu makin dekat. Apa yang terjadi dalam lingkup lokal tertentu bisa secara cepat “ditiru”, “digandakan” atau sekadar diketahui di dalam lokalitas yang berbeda. Dengan demikian, apa yang menjadi trend keagamaan di India misalnya, secara cepat menjadi “milik” global karena dekatnya jarak ruang dan waktu.

Dalam globalisasi, tidak ada lagi lokal dan global karena yang lokal bisa menjadi global. Demikian pula sebaliknya, yang kita sebuat universal dan global pada dasarnya fenomena lokal.

Kedua, masih berkaitan dengan globalisasi, kecenderungan kembali ke India juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan spiritual (new age) terhadap globalisasi yang dirumuskan secara totaliter sebagai modernisasi dan westernisasi. Modernitas dianggap justru menciptakan kekosongan spiritual karena membuat manusia teralienasi (terpinggirkan) dari dirinya sendiri. Acuan-acuan modernitas justru membelenggu manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kebangkitan spiritualisme baru yang menjadi fenomena lokal dan global, pada dasarnya merupakan respons kegagalan modernitas memberikan alternatif peradaban.

Ketiga, kebangkitan spiritualisme baru yang inspirasinya diambil dari India adalah fenomena perlawanan terhadap tatanan sosial-politik dan kultural yang dominatif.

Tatanan sosial yang dominatif seringkali didasarkan atas pijakan-pijakan teologis dari paham keagamaan. Oleh karena itu, spiritualisme baru kemudian berkembang menjadi gerakan purifikasi (pemurnian) paham keagamaan dari bias kepentingan ekonomi-politik.

Akhirnya, seperti juga halnya yang dialami oleh agama-agama lain, Hinduisme mengalami tarik-menarik antara ide universalisme dan lokalitas, serta antara pendekatan purifikasi dan pendekatan budaya. Sejarah agama-agama besar penuh dengan cerita gerakan purifikasi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dialektika keagamaan dan relasi kuasa.

Tata Cara Perkawinan Adat Bali

Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.

Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:

Upacara Ngekeb

Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

Mungkah Lawang ( Buka Pintu )

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

Upacara Mesegehagung

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

Madengen–dengen

Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

Mewidhi Widana

Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan


Mejauman Ngabe Tipat Bantal

Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

Arsitektur Tradisional Bali



Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi segala aspek dalam kehidupan. Sehingga, Arsitektur Tradisional Bali (ATB) diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.

Konsep Dasar

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

    * Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
    * Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
    * Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
    * Konsep proporsi dan skala manusia
    * Konsep court, Open air
    * Konsep kejujuran bahan bangunan

Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:

    * Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
    * Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
    * Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
    * Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

    * Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
    * Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
    * Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
    * Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala

Sanga Mandala

Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:

1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
3. Sumbu natural: Gunung dan Laut
Hirarki Ruang / Tri Angga

Tri Angga

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.

1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

Dimensi Tradisional Bali

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Dikenal beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. Sebuah desain bangunan tradidsional Bali tentunya harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.

Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan - bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).

Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali tentu akan sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali berdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar.

Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ruang luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ’satu’, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positif. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positif baru ini.

Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale ikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga.

Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang membuka’ kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan:

Japanese wooden houses do not directly face the street but surrounded by fences. Since the garden is invisible from the street, it is ruled by the order inside the house in the case of Japanese houses, garden are ruled by interior order, and fences serve as boundaries to separate interior from exterior space.

Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling pertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.

Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar. Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama dengan hal tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga maupun jalan desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan desa, kemudian jalan desa menghadap penyengker bangunan yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik untuk kegiatan sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual dan seni. Aktifitas yang memusat ke dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip
sumber:www.wahana-budaya-indonesia.com

Arsitektur Bali

Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi segala aspek dalam kehidupan. Sehingga, Arsitektur Tradisional Bali (ATB) diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.


Konsep Dasar

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

    * Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
    * Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
    * Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
    * Konsep proporsi dan skala manusia
    * Konsep court, Open air
    * Konsep kejujuran bahan bangunan

Arsitektur tradisional Bali memiliki konsep-konsep dasar dalam menyusun dan memengaruhi tata ruangnya, diantaranya adalah:

    * Orientasi Kosmologi atau dikenal dengan Sanga Mandala
    * Keseimbangan Kosmologi, Manik Ring Cucupu
    * Hierarki ruang, terdiri atas Tri Loka dan Tri Angga
    * Dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:

    * Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
    * Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
    * Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)
    * Orientasi Kosmologi / Sanga Mandala

Sanga Mandala

Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:

1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)
2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)
3. Sumbu natural: Gunung dan Laut

Hirarki Ruang / Tri Angga

Tri Angga

Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.

1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.
2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.
3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

Dimensi Tradisional Bali

Dalam perancangan sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Dikenal beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. Sebuah desain bangunan tradidsional Bali tentunya harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.

Bangunan Hunian

Hunian pada masyarakat Bali ditata sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.

Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Angkul-angkul ini bentuk mirip seperti pagar utama di bangunan modern, sebagai pintu masuk penghubung antara luar dengan area dalam bangunan. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan - bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka (tanpa tembok, dengan bangunan dasar berbentul Bale yang sering kita jumpai pada umumnya).

Ditengah-tengah hunian bangunan tradisional Bali, terdapat natah (court garden/halaman) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam

Mengamati hunian tradisional Bali tentu akan sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali berdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar.

Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi.

Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ruang luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ’satu’, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif

Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip.

Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positif. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order.

Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana.

Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positif baru ini.

Konsistensi dan Konsekuensi

Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali.

Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale ikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga.

Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat.Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang membuka’ kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan:

Japanese wooden houses do not directly face the street but surrounded by fences. Since the garden is invisible from the street, it is ruled by the order inside the house in the case of Japanese houses, garden are ruled by interior order, and fences serve as boundaries to separate interior from exterior space.

Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling pertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.

Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar. Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama dengan hal tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga maupun jalan desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan desa, kemudian jalan desa menghadap penyengker bangunan yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik untuk kegiatan sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual dan seni. Aktifitas yang memusat ke dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip.
sumber ; http://www.wahana-budaya-indonesia.com